Thursday, 21 April 2016

Kebudayaan Suku Bugis

Sejarah Singkat Suku Bugis


Suku Bugis1
Suku Bugis atau to Ugi’ adalah salah satu suku di antara sekian banyak suku di Indonesia. Mereka bermukim di Pulau Sulawesi bagian selatan. Namun, dalam perkembangannya, saat ini komunitas Bugis telah menyebar luas ke seluruh Nusantara. Ugi bukanlah sebuah kata yang memiliki makna. Tapi merupakan kependekan dari La Satumpugi, nama seorang raja yang pada masanya menguasai sebagian besar wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. La Satumpugi terkenal baik dan dekat dengan rakyatnya. Rakyatnya pun menyebut diri mereka To Ugi, yang berarti Orang Ugi atau Pengikut Ugi. Dalam perjalanannya, seiring gerakan ke-Indonesiaan, Ugi dibahasa-Indonesiakan menjadi Bugis dan diidentifikasikan menjadi salah satu suku resmi dalam lingkup negara Republik Indonesia.
I. Kebudayaan Suku Bugis
Budaya–budaya Bugis sesungguhnya yang diterapkan dalam kehidupan sehari–hari mengajarkan hal–hal yang berhubungan dengan akhlak sesama, seperti mengucapkan tabe’ (permisi) sambil berbungkuk setengah badan bila lewat di depan sekumpulan orang-orang tua yang sedang bercerita, mengucapkan iyé’ (dalam bahasa Jawa nggih), jika menjawab pertanyaan sebelum mengutarakan alasan, ramah, dan menghargai orang yang lebih tua serta menyayangi yang muda. Inilah di antaranya ajaran–ajaran suku Bugis sesungguhnya yang termuat dalam Lontara‘ yang harus direalisasikan dalam kehidupan sehari–hari oleh masyarakat Bugis.
Suku Bugis juga kental dengan adat yang khas: adat pernikahan, adat bertamu, adat bangun rumah, adat bertani, prinsip hidup, dan sebagainya. Meskipun sedikit banyaknya telah tercampur dengan ajaran Islam. Adat sendiri yang dimiliki Suku Bugis menandakan satu hal: Suku Bugis pada masanya memiliki peradaban yang luar biasa hebatnya. Nenek moyang Suku Bugis adalah orang-orang pintar yang mampu menciptakan dan mewariskan ilmu pengetahuan.
Suku Bugis2Umumnya rumah orang Bugis berbentuk rumah panggung dari kayu berbentuk segi empat panjang dengan tiang-tiang yang tinggi memikul lantai dan atap. Konstruksi rumah dibuat secara lepas-pasang (knock down) sehingga bisa dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain.
Orang Bugis memandang rumah tidak hanya sekedar tempat tinggal tetapi juga sebagai ruang pusat siklus kehidupan. Tempat manusia dilahirkan, dibesarkan, kawin, dan meninggal. Karena itu, membangun rumah haruslah didasarkan tradisi dan kepercayaan yang diwarisi secara turun temurun dari leluhur. Konstruksi berbentuk panggung yang terdiri atas tingkat atas, tengah, dan bawah diuraikan yaitu :
Tingkat atas digunakan untuk menyimpan padi dan benda-benda pusaka. Tingkat tengah, yang digunakan sebagai tempat tinggal, terbagi atas ruang-ruang untuk menerima tamu, tidur, makan dan dapur. Tingkat dasar yang berada di lantai bawah diggunakan untuk menyimpan alat-alat pertanian, dan kandang ternak. Rumah tradisional bugis dapat juga digolongkan berdasarkan status pemiliknya atau berdasarkan pelapisan sosial yang berlaku.
A. SISTEM RELIGI
Pada mulanya, agama Suku Bugis adalah animisme yang diwariskan secara turun-temurun. Masyarakat di sini merupakan pengikut aliran kepercayaan sure galigo, yaitu sebuah kepercayaan pada dewa tunggal yang sering mereka sebut dengan Patoto E. Bahkan, sampai saat ini masih ada masyarakat Bugis yang mempercayai aliran ini. Namun animisme itu terkikis sejak ulama asal Sumatera bernama Datuk Di Tiro menyebarkan ajaran Islam di Sulawesi Selatan. Islam kemudian menjadi agama utama Suku Bugis hingga kini. Islam masuk ke daerah Suku Bugis sekitar abad ke 17, melalui para pedagang Melayu. Ajaran Islam yang mudah diterima oleh masyarakat setempat membuat agama ini menjadi pilihan di antarakeberagaman agama lainnya. Mereka bisa menerima Islam dengan baik karena menurut mereka ajaran Islam tidak mengubah nilai-nail, kaidah kemasyarakatan dan budaya yang telah ada.
Walaupun demikian, beberapa komunitas Suku Bugis tidak mau meninggalkan animisme. Ketika Pemerintah Indonesia menawarkan kepada mereka lima agama untuk dianut, mereka lebih memilih agama Budha atau Hindu yang mereka anggap menyerupai animisme mereka. Maka jangan heran kalau ada orang Bugis yang menunjukkan KTP-nya bertuliskan agama Budha atau Hindu.
B. SISTEM ORGANISASI KEMASYARAKATAN
Suku Bugis merupakan suku yang menganut sistem patron klien atau sistem kelompok kesetia kawanan antara pemimpin dan pengikutnya yang bersifat menyeluruh. Salah satu sistem hierarki yang sangat kaku dan rumit. Namun, mereka mempunyai mobilitas yang sangat tinggi, buktinya dimana kita berada tak sulit berjumpa dengan manusia Bugis. Mereka terkenal berkarakter keras dansangat menjunjung tinggi kehormatan, pekerja keras demi kehormatan nama keluarga.
Sedangkan sistem kekerabatan orang Bugis disebut assiajingeng yang mengikuti sistem bilateral atau sistem yang mengikuti pergaulan hidup dari ayah maupun dari pihak ibu. Garis keturunan berdasarkan kedua orang tua sehingga seorang anak tidak hanya menjadi bagian dari keluarga besar ayah tapi juga menjadi bagian dari keluarga besar ibu.
Hubungan kekerabatan atau assiajingeng ini dibagi dua yaitu siajing mareppe(kerabat dekat) dan siajing mabella (kerabat jauh). Kerabat dekat atau siajing mareppe adalah penentu dan pengendali martabat keluarga. Siajing mareppe inilah yang akan menjadi tu masiri’ (orang yang malu) bila ada perempuan anggota keluarga mereka yang ri lariang (dibawa lari oleh orang lain). Mereka punya kewajiban untuk menghapus siri’ atau malu tersebut.
Anggota siajing mareppe didasarkan atas dua jalur, yaitu reppe mereppe atau anggota kekeluargaan berdasarkan hubungan darah dan siteppang mareppe(sompung lolo) atau anggota kekeluargaan berdasarkan hubungan perkawinan.
C. SISTEM PENCAHARIAN
Wilayah Suku Bugis terletak di dataran rendah dan pesisir pulau Sulawesibagian selatan. Di dataran ini, mempunyai tanah yang cukup subur, sehingga banyak masyarakat Bugis yang hidup sebagai petani. Selain sebagai petani, SukuBugis juga di kenal sebagai masyarakat nelayan dan pedagang. Meskipun mereka mempunyai tanah yang subur dan cocok untuk bercocok tanam, namun sebagian besar masyarakat mereka adalah pelaut. Suku Bugis mencari kehidupan dan mempertahankan hidup dari laut.Tidak sedikit masyarakat Bugis yang merantau sampai ke seluruh negeri dengan menggunakan Perahu Pinisi-nya. Bahkan, kepiawaian suku Bugis dalam mengarungi samudra cukup dikenal luas hingga luar negeri, di antara wilayah perantauan mereka, seperti Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand, Australia, Madagaskar dan Afrika Selatan. Suku Bugis memang terkenal sebagai suku yang hidup merantau. Beberapa dari mereka, lebih suka berkeliaran untuk berdagang dan mencoba melangsungkan hidup di tanah orang lain. Hal ini juga disebabkan oleh faktor sejarah orang Bugis itu sendiri di masa lalu.
D. SISTEM TEKNOLOGI DAN PERALATAN
Dengan terciptanya peralatan untuk hidup yang berbeda, maka secaraperlahan tapi pasti, tatanan kehidupan perorangan, dilanjutkan berkelompok,kemudian membentuk sebuah masyarakat, akan penataannya bertumpu pada sifat-sifat peralatan untuk hidup tersebut. Peralatan hidup ini dapat pula disebut sebagaihasil manusia dalam mencipta. Dengan bahasa umum, hasil ciptaan yang berupaperalatan fisik disebut teknologi dan proses penciptaannya dikatakan ilmupengetahuan dibidang teknik.Sejak dahulu, suku Bugis di Sulawesi Selatan terkenal sebagai pelautyang ulung. Mereka sangat piawai dalam mengarungi lautan dan samudera luas hingga ke berbagai kawasan di Nusantara dengan menggunakan perahu Pinisi.
1. Perahu Pinisi
Perahu Pinisi termasuk alat transportasi laut tradisional masyarakat Bugisyang sudah terkenal sejak berabad-abad yang lalu. Menurut cerita di dalamnaskah Lontarak I Babad La Lagaligo, Perahu Pinisi sudah ada  sekitar abad ke-14M. Menurut naskah tersebut, Perahu Pinisi pertama kali dibuat olehSawerigading, Putra Mahkota Kerajaan Luwu. Bahan untuk membuat perahutersebut diambil dari pohon welengreng (pohon dewata) yang terkenal sangatkokoh dan tidak mudah rapuh. Namun, sebelum pohon itu ditebang, terlebih dahulu dilaksanakan upacara khusus  agar  penunggunya  bersedia  pindah ke pohon lainnya. Hingga saat ini, Kabupaten Bulukumba masih dikenal sebagai produsen Perahu Pinisi.
2. Sepeda dan Bendi
Sepeda ataupun Dokar, koleksi Perangkat pertanian Tadisional ini adalahbukti sejarah peradaban bahwa sejak jaman dahulu bangsa indonesia khususnyamasyarakat Sulawesi Selatan telah dikenali sebagai masyarakat yang bercocok tanam. Mereka menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian terutamatanaman padi sebagai bahan makanan pokok.
3. Koleksi peralatan menempa besi dan hasilnya
Jika anda ingin mengenali lebih jauh tentang sisi lain dari kehidupan masalampau masyarakat Sulawesi Selatan, maka anda dapat mengkajinya melaluikoleksi trdisional menempa besi, Hasil tempaan berupa berbagai jenis senjatatajam, baik untuk penggunan sehari – hari maupun untuk perlengkapan upacaraadat.
4. Koleksi Peralatan Tenun Tradisional
Dari koleksi Peralatan Tenun Tradisional ini, dapat diketahui bahwabudaya menenun di Sulawesi Selatan diperkirakan berawal dari jaman prasejarah,yakni ditemukan berbagai jenis benda peninggalan kebudayaan dibeberapa daerahseperti leang – leang kabupaten maros yang diperkirakan sebagai pendukung pembuat pakaian dari kulit kayu dan serat – serat tumbuhan-tumbuhan. Ketika pengetahuan manusia pada zaman itu mulai Berkembang mereka menemukan cara yang lebih baik yakni alat pemintal tenun dengan bahan baku benang kapas. Dari sinilah mulai tercipta berbagai jenis corak kain saung dan pakaian tradisional.
E. BAHASA DAN LITERATUR
Dalam kesehariannya hingga saat ini orang bugis masih menggunakan bahasa “Ugi” yang merupakan bahasa keluarga besar dari bahasa Austronesia Barat. Selain itu, orang Bugis juga memilikis aksara sendiri yakni aksara lontara yang berasal dari huruf Sansekerta. Bahkan uniknya, logat bahasa Bugis berbeda di setiap wilayahnya; ada yang kasar dan ada yang halus. Bahasa, yang dimiliki Suku Bugis menandakan satu hal: Suku Bugis pada masanya memiliki peradaban yang luar biasa hebatnya. Nenek moyang Suku Bugis adalah orang-orang pintar yang mampu menciptakan dan mewariskan ilmu pengetahuan.
F. KESENIAN
  •  Alat musik
1. Kacapi (kecapi) Salah satu alat musik petik tradisional Sulawesi Selatan khususnya sukuBugis, Bugis Makassar dan Bugis Mandar. Menurut sejarahnya kecapi ditemukan atau diciptakan oleh seorang pelaut, sehingga bentuknya menyerupai perahu yang memiliki dua dawai, diambil karena penemuannya dari tali layar perahu.
2. Sinrili, Alat musik yang mernyerupai biola tetapi biola di mainkan dengan membaringkan di pundak sedangkan Singrili di mainkan dalam keedaanpemain duduk dan alat diletakkan tegak di depan pemainnya.
3. Gendang Musik , perkusi yang mempunyai dua bentuk dasar yakni bulat panjang danbundarseperti rebana.
4. SulingSuling bambu/buluh, terdiri dari tiga jenis, yaitu:
• Suling panjang (suling lampe), memiliki 5 lubang nada. Suling jenis ini telahpunah
• Suling calabai (Suling ponco),sering dipadukan dengan piola (biola) kecapidan dimainkan bersama penyanyi
• Suling dupa samping (musik bambu), musik bambu masih terplihara didaerahKecamatan Lembang. Biasanya digunakan pada acara karnaval (barisberbaris) atau acara penjemputan tamu.
  • Seni Tari
• Tari pelangi; tarian pabbakkanna lajina atau biasa disebut tari meminta hujan.
• Tari Paduppa Bosara; tarian yang mengambarkan bahwa orang Bugis jika kedatangan tamu senantiasa menghidangkan bosara, sebagai tanda kesyukuran dan kehormatan
• Tari Pattennung; tarian adat yang menggambarkan perempuan-perempuan yang sedang menenun benang menjadi kain. Melambangkan kesabaran danketekunan perempuan-perempuan Bugis.
• Tari Pajoge’ dan Tari Anak Masari; tarian ini dilakukan oleh calabai(waria), namun jenis tarian ini sulit sekali ditemukan bahkan dikategorikan telahpunah.
• Jenis tarian yang lain adalah tari Pangayo, tari Passassa ,tari Pa’galung, dan Tari Pabbatte (biasanya di gelar padasaat Pesta Panen)

Sejarah Suku Bajau Di Sulawesi

Suku bangsa yang satu ini sangat pandai menyesuaikan diri dengan kehidupan di perairan Nusantara, bahkan sampai ke perairan kepulauan Filipina bagian selatan. Mereka hidup berpindah-pindah di perairan laut dan teluk di sekitar Pulau Sulawesi, Kalimantan, Sumatera bagian timur, Kepulauan Maluku bagian utara dan Kepulauan Nusa Tenggara. Jumlah orang Bajau di seluruh Indonesia diperkirakan sekitar 50.000 jiwa. Kelompok yang paling banyak jumlahnya mungkin berada di sekitar Sulawesi Tengah, yaitu sekitar 25.000 jiwa.


sejarah-suku-bajo

Di Sulawesi Selatan jumlahnya sekitar 8.000-10.000 jiwa. Di Maluku Utara sekitar 5.000 orang, yaitu di sekitar pulau Obi, Bacan, Kayoa dan Sula. Sebagian ditemukan di pantai utara, Pulau Lombok, Sumba, Sumbawa dan pulau-pulau kecil lainnya. Ada pula yang mendiami beberapa daerah pantai dan teluk di Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Riau dan Jambi. Anggapan ini menyamakan pula orang Laut yang berdiam di Riau Kepulauan sebagai kelompok suku bangsa Bajau. Tetapi ada pula yang membedakannya, karena bahasa orang Laut di Riau denga bahasa orang Bajau pada umumnya berbeda, karena orang laut menggunakan bahasa dengan dialek Melayu Kepulauan.

Para peneliti asing di Kalimantan melaporkan bahwa suku bangsa ini sebagai penyalur hasil hutan yang dikumpulkan oleh penduduk pedalaman. Penulis-penulis Barat beranggapan bahwa suku bangsa ini sering digunakan oleh sultan-sultan Melayu untuk merampok kapal-kapal pedagang Eropa. Orang Makasaar menyebut suku bangsa ini orang Bayi atau Turije'ne. Orang Bugis menyebutnya orang Bajo. Masyarakat suku bangsa di Sulawesi Tengah umumnya menyebut mereka orang Bajau. Di sekitar perairan Malaysia disebut Bajaw. Di perairan Filipina bagian selatan suku bangsa ini disebut orang Sama. Dalam literatur modern disebut-sebut sebagai The Sea Gypsy. Penelitian mengenai orang Bajau secara menyeluruh nampaknya belum ada, kecuali penelitian terbatas pada sub-kelompok sub-kelompok tertentu.

Bahasa Suku Bajau

Bahasa Bajau yang terdapat di lingkungan perairan Indonesia memperlihatkan ciri kebahasaan yang sama dan hanya berbeda dialek dengan bahasa Bajau yang digunakan di perairan Malaysia dan Filipina Selatan. Ada anggapan bahwa bahasa mereka sebenarnya sama karena mereka selalu mengadakan interaksi musiman secara teratur. Selain itu pengaruh bahasa asing dianggap sedikit sekali, karena mereka suka menjauhkan diri dari kontak sosial ekonomi dengan suku-suku bangsa lain, kecuali hubungan dagang dengan orang bugis dan makassar.

Agama Dan Kepercayaan Dalam Suku Bajau

Mungkin sebagian besar orang suku Bajau memeluk agama Islam, cuma pengaruh sistem kepercayaan animisme laut masih amat kuat, sehingga menjadi salah satu ciri kebudayaan mereka yang khas itu. Pengaruh agama Islam mungkin diperoleh lewat interaksi dengan para pelaut Bugis yang juga tersebar di berbagai perairan laut Nusantara. Bedanya para pelaut Bugis masih mengenal pemukiman tertentu sebagai tempat tinggal dan terbuka untuk mengadakan hubungan yang lebih dalam dengan suku-suku bangsa lain.

Perkawinan Dalam Suku Bajau

Sistem perkawinan mereka terutama mengikuti hukum perkawinan Islam dan ditambah dengan pengadaan upacara perkawinan menurut adat istiadat mereka yang sayang masih sedikit diketahui. Seorang pengantin perempuan akan ikut dengan perahu orang tua suaminya segera setelah upacara perkawinan selesai. Ada pula pasangan yang hidup di perahu buatan sendiri atau hadiah dari kerabat mereka. Ada pula pasangan baru yang lebih senang bergabung dengan perahu orang tua suami. Tidak diketahui apakah mereka berpoligami. Mereka tidak berlayar sepanjang tahun, karena pada musim-musim tertentu mereka akan menetap di dekat pantai yang perairannya tenang sambil memperbaiki perahu dan alat-alat untuk menangkap ikan serta hasil laut lainnya, mengadakan kegiatan sosial, seperti perkawinan, sunatan dan upacara lainnya. Beberapa kelompok di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara sudah ada yang mau menetap dan mendirikan sekolah.

Penduduk-penduduk lain di sekitar perairan Sulawesi Tengah dan Maluku Utara nampaknya amat mengagumi dan mengakui keterampilan orang Bajau untuk hidup di laut. Mereka dikenal sebagai penyelam ulung, tahan berjam-jam di kedalaman 10-20 meter untuk berburu ikan dengan tombaknya yang berkait dan senjata harpun buatan sendiri, atau mencari kerang mutiara untuk dijual kepada tengkulak yang akan menjualnya lagi ke padagang Jepang. Selain ikan dan mutiara mereka juga mengumpulkan rumput laut, teripang dan sirip ikan hiu yang harganya cukup bagus.

Kebudayaan Suku Bajau

Ciri kebudayaan orang Bajau memang masih kabur, tetapi harus diketahui bahwa sistem pengetahuan mereka tentang kelautan serta perbintangan amatlah luas, terutama pengetahuan mengenai lautan di lingkungan Indonesia.

Mengenal Suku Orang Wawonii


Suku Wawonii, adalah suatu suku bangsa asli yang mendiami satu pulau kecil yakni Wawonii sebagai penduduk asli di provinsi Sulawesi Tenggara. Secara etnografis, Keberadaan Orang Wawonii masih kurang dikenal orang, disebabkan oleh karena tidak adanya penelitian atau publikasi yang pernah dilakukan mengenai suku bangsa ini.
Menurut cerita, nenek moyang Orang Wawonii berasal dari kampung Lasolo dan Soropia (Torete) dan daratan Buton Utara di kampung Kulisusu. Mereka telah mendiami pulau ini sejak berabad-abad yang lalu. Tidak jelas benar darimana dan kapan mereka mulai menempati pulau ini. Yang jelas mereka adalah penduduk asli di Pulau Wawonii, dan merupakan suatu suku bangsa tersendiri yang memiliki adat istiadat dan kebudayaan yang berbeda dari suku-suku bangsa lainnya di nusantara.
Satu hal yang unik pada Orang Wawonii adalah bahwa kendatipun mereka tergolong masyarakat pesisir, mengingat perkampungan mereka terletak dipinggiran pantai kecuali satu perkampungan yakni kampung Wawolaa yang berada dipedalaman, namun tingkat keterkaitan mereka dengan laut sangat rendah. Adalah sangat susah menemukan satu Orang Wawonii yang menjadi nelayan. Jika kita bandingkan dengan perkampungan pesisir lainnya, biasanya yang dijemur oleh penduuduk di jalan-jalan atau dihalaman rumah adalah ikan. Atau bahwa perkampungan pesisir identik dengan bau ikan, jala, dan berbagai peralatan nelayan lainnya. Tetapi di perkampungan pesisir Orang wawonii yang dijemur adalah kelapa dan bau yang sangat terasa menusuk hidung adalah bau kopera. Dipinggiran pantai yang nampak adalah rumah panggang kelapa, perahu dan kapal-kapal kecil tetapi bukan untuk mencari ikan namun sebagai alat transportasi untuk mengangkut buah kelapa maupun mengangkut koperasi.
Memang, Kalau Dilihat dari namanya, suku maupun pulaunya, Wawonii secara etimologis berasal dari kata “Wawo” yang berarti di atas, dan “nii” yang berarti kelapa. Jadi Wawonii artinya adalah “diatas kelapa”. Secara factual kenyataannya memang demikian. Pulau kecil tersebut penuh dengan tanaman kelapa khususnya dipesisir pantainya. Tanaman kelapa inilah yang menjadi sumber penghidupan utama Orang Wawonii selain berladang berpindah, mengolah kayu dan merotan.
Suatu kenyataan yang cukup kontras dengan letak geografis masyarakatnya yang berada dipesisir pantai adalah susahnya untuk memperoleh ikan atau hasil-hasil laut lainnya bagi pemenuhan kebutuhan makan sehari-hari. Bahkan untuk kebutuhan yang satu ini, mereka hanya mengharap dari nelayan/Orang Bajo yang singgah diperkampungan mereka. Tetapi bila tidak ada yang singgah dalam beberapa hari maka selama itu pula mereka tidak mengkonsumsi ikan.
Orang Wawonii lebih mengutamakan kopra daripada menangkap ikan di laut. Karena kopra sudah menjadi semacam tradisi bagi masyarakat Wawonii. Di perkampungan pesisir Orang wawonii, mereka memanfaatkan lahan pesisir pantai sebagai tempat untuk menjemur kelapa untuk menghasilkan kopra serta banyak terdapat rumah panggang kelapa, perahu dan kapal-kapal kecil tetapi bukan untuk mencari ikan namun sebagai alat transportasi untuk mengangkut kopra.
Sebagai sumber mata pencaharian utama, tanaman kelapa merupakan infra struktur ekonomi masyarakat yang sangat vital. Buah kelapa diolah menjadi kopra lalu kemudian di pasarkan di Kota Kendari dengan menggunakan perahu layar (kapal) masyarakat setempat. Berladang berpindah juga dikerjakan oleh Orang Wawonii yang dilakukan dengan membuka hutan dengan sistem tebang bakar (shifting and burning cultivation). Areal yang dibuka dijadikan sebagai ladang dengan ditanami tanaman jangka pendek seperti padi, jagung dan berbagai macam sayur-sayuran. Selain itu, areal perladangan juga ditanami dengan tanaman jangka panjang yaitu kelapa. Kawasan perladangan ini diolah untuk 1 (satu) hingga 3 (tiga) kali maksimal musim tanam dan setelah itu pindah lagi ke lokasi yang baru. Kawasan perladangan masyarakat ini, tidak jauh dari perkampungan penduduk, tetapi hanya beberapa kilo meter saja yang ditempuh dengan jalan kaki.
Beberapa kisah yang banyak diketahui tentang orang Wawonii, adalah bahwa suku bangsa ini identik punya ilmu hitam yang sangat ampuh, mujarab dan manjur untuk melumpukan orang lain. Sedangkan menurut orang Wawonii, bahwa ilmu hitam itu hanya dimiliki orang-orang tertentu saja. Saat ini ilmu hitam sudah sangat jarang digunakan oleh orang Wawonii. Tapi terlepas dari cerita ilmu hitam tersebut, orang Wawonii adalah orang yang sangat ramah dan terbuka, baik dalam pergaulan sesama mereka maupun dengan orang luar.

Mata pencaharian orang Wawonii adalah pada bidang pertanian. Mereka menanam padi padi, jagung, dan kacang hijau, maupun tanaman perkebunan seperti kelapa, cengkeh, jambu mete, kakao, pala, dan pisang. Tanaman kelapa menjadi sumber penghidupan utama Orang Wawonii selain berladang berpindah, mengolah kayu dan merotan. Buah kelapa diolah menjadi kopra dan hasilnya dijual di kota Kendari dengan menggunakan perahu layar (kapal) masyarakat setempat. 
Sedangkan mengolah kayu dan merotan hanya dilakukan oleh sebagian kecil penduduk dan umumnya hanya dibutuhkan untuk kepentingan pembuatan rumah masyarakat. Untuk mengelola dalam jumlah yang besar, Orang Wawonii tidak pernah melakukannya. Hal ini lebih dikarenakan oleh tingkat ketergantungan mereka terhadap tanaman kelapa yang sangat tinggi. Sebagai contoh, kegiatan merotan hanya dilakukan oleh Orang Wawonii dikampung Tekonea dan Polara, itupun hanya pada masa-masa senggang apabila telah memanen kelapanya.

TARI TRADISIONAL "LUMENSE" ASLI KABAENA

TARI LUMENSE

Sebagai bangsa Indonesia yang kaya akan budaya sudah sepantasnya menjaga dan melestarikkan kekayaan yang kita miliki. Salah satu bentuk usah kita dalam melestarikan dan menjaga kekeayaan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia ini, yaitu dengan mengenal, mengetahui dan memahami makna dari buday itu sendiri. Tari merupakan salah satu seni gerak yang khas dan menjadi bukti keberaneka ragaman budaya bangsa kita, dengan lahir dan terbentuknya berbagai bentuk dan jenis tarian di setiap daerah masing-masing yang menjadi identitasnya.
Ada yang tahu Tari Tradisional dari Daerah Sulawesi Tenggara? Sulawesi tenggara merupakan salah satu propinsi yang ada di pulau Sulawesi, sehingga namanyapun di ambil dari nama pulaunya itu sendiri dan ditambah bagian pulau itu sendiri. Sulawesi tenggara terkenal memiliki salah satu tari tradisional yang khsa, yaitu Tari Lumense tepatnya berada di kec.kabaena kab.bombana
 Secara nama atau istilah, Lumense diambil dari bahasa penduduk setempat yang terdiri dari dua suku kata yaitu kata lume yang berarti terbang dan mense yang berarti tinggi, jadi secara istilah bahasa lumense berarti terbang tinggi. Tari lumense pada asal mulanya berasal dari Kabupaten Bombana Kecamatan Kabaena, suku yang menempati wilayah ini adalah suku Moronene bahkan hampir seluruh wilayah Sulawesi tenggara di huni suku moronene ini. suku moronene merupakan generasi dari suku melayu tua yang dating dari hindia pada zaman prasejaran, tarian Lumense adalah tarian yang berasal dari Kecamatan Kabaen, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara.
Secara geografis, kecamatan kabaena merupakan pulau terbesar setelah buton dan Muna di Sulawesi tenggara. Menurut sejarah, dahulu kecamatan kabaena berada di bawah kekuasaan kerajaan Buton sehingga hubungan kekerabatan antara Kabaena dan buton pun sangat erat. Hal ini juga mempengaruhi perkembangan kebudayaan di wilayah Kabaena termasuk tari Lumense.
 Menyambut tamu pada pesta-pesta, terutama pesta rakyat adalah salah satu tradisi tari lumense digelar atau dipertunjukkan oleh masyakat Kabaena. Jumlah Penari dalam tari tradisional ini ada dua belas orang perempuan, sehingga tari tradisional ini termasuk tarian kelompok perempuan. Dari kedua belas orang penari ini, 6 diantaranya berperan sebagai laki-laki dan 6 orang lainnya berperan sebagai perempuan. Semua penari dalam tarian ini menggunakan busana adat Kabaena, bagi para penari yang berperan sebagai perempuan memakai taincombo, taincombo merupakan sebutan baju adat Kabean dengan corak rok berwarna merah marun dan atasan baju hitam dengan bagian bawah baju mirip ikan duyung. Sedangkan untuk penari yang berperan sebagai laki-laki memakai taincombo yang dipadukan dengan selendang merah, selain itu Kelompok laki-laki memakai korobi (sarung parang dari kayu) yang disandang di pinggang sebelah kiri, 
       Awal dari gerakan tari tradisional ini adalah dengan begerak maju mundur, bertukar tempat kemudian membentuk konfigurasi huruf Z lalu berubah menjadi S, moomani atau ibing merupakan sebutan gerakan yang dinamis yang ditampilkan. Klimaks dari tarian ini adalah ketika para penanari terus melakukan moomani kemudian menebaskan parang kepada pohon pisang, sampai pohon pisang itu jatuh bersamaan ke tanah. Penutup dari tarian ini adalah para penari membentuk konfigurasi setengah lingkaran sambil saling mengaitkan tangan lalu menggerakannya naik turun sambil mengimbangi kaki yang maju mundur. Tarian ini diiringi oleh musik yang berasal dari alat musik gendang dan gong besar (tawa-tawa) dan gong kecil (ndengu-ndengu). Untuk mengiringi tarian ini hanya dibutuhkan tiga orang penabuh alat musik tersebut sementara dalam memainkan tarian ini dibutuhkan beberapa anakan pohon pisang sebagai property pendukung. Namun pada perkembangannya tidak semua rangkaian gerakan dalam tarian ini di pertunjukkan, karena mengingat durasi waktu yang terkadang dibatasi, terutama pada penyambutan tamu kenegaraan yang waktunya haya terbatas
       Sejarah mencatat ritual pe-olia merupakan sarana untuk mengelar tarian Lumense. ritual pe-olia adalah ritual penyembahan kepada roh halus yang disebut kowonuano (penguasa/pemilik negeri) dengan menyajikan aneka jenis makanan. Ritual ini dimaksudakan agar kowonuano berkenan mengusir segala macam bencana. Penutup dari ritual tersebut adalah penebasan pohon pisang. Tarian ini juga sering ditampilkan pada masa kekuasaan Kesultanan Buton. Seiring dengan perkembangan, fungsi tari Lumense pun mulai bergeser. Ada pendapat yang mengatakan bahwa tari Lumense bercerita tentang kondisi sosial masyarakat Kabaena saat ini. Corak produksi masyarakat Kabaena adalah bercocok tanam atau bertani, masyarakat masih melakukan pola tradisional yaitu membuka hutan untuk dijadikan lahan pertanian. Sementara parang yang dibawa oleh para pria menggambarkan para pria yang berprofesi sebagai petani. Simbol pohon pisang dalam tarian ini bermakna bencana yang bisa dicegah. Oleh karena itu klimaks dari tarian ini adalah menebang pohon pisang. Artinya, setelah pohon pisang tumbang bencana bisa dicegah. Namun sekarang tari Lumense sudah tidak lagi menjadi ritual pengusiran roh. Akan tetapi, Tari Lumense masih di pertunjukan oleh masyarakat Kabaena pada acara-acara tertentu seperti pengantar acara pernikahan.

Suku Moronene (Asal-usul dan Kebudayaan)


Nenek Moyang
Nenek Moyang
Suku Moronene merupakan suku yang kebanyakan mendiami wilayah Kabupaten Bombana (Dataran Sulawesi Tenggara dan Kepulauan Kabaena)  Suku Moronene, adalah salah satu suku besar yang terdapat di Sulawesi Tenggara. Populasi orang Moronene diperkirakan sekitar 7.000 orang.
Istilah “moronene” berasal dari kata “moro” yang berarti “serupa” dan “nene” yang berarti “pohon resam”. Pohon Resam adalah sejenis tanaman paku, yang banyak ditemukan di daerah ini. Kulit batangnya bisa dijadikan tali, sedangkan daunnya adalah pembungkus kue lemper. Resam hidup subur di daerah lembah atau pinggiran sungai yang mengandung banyak air. Daerah pemukiman suku Moronene biasanya di daerah yang banyak kawasan sumber air.
Para pakar anthropolog berkeyakinan bahwa orang Moronene ini adalah penghuni pertama wilayah ini. Mereka tergolong suku bangsa Proto Malayan (Melayu Tua) yang datang dari Hindia Belakang pada zaman prasejarah atau zaman batu muda, kira-kira 2.000 tahun sebelum Masehi. Namun sekitar abad 18, mereka tergusur oleh semakin berkembangnya penduduk lain yang juga menghuni wilayah ini, yaitu suku Tolaki, yang mendesak mereka masuk ke pedalaman Sulawesi Tenggara.
Berdasarkan asal-usulnya Suku Bangsa Proto Malayan (Melayu tua) merupakan bagian dari Ras Mongoloid. Ras Mongoloid mempunyai 3 subras yaitu:
  1. Asiatik Mongoloid (Cina,Jepang,Korea)
  2. Malayan Mongoloid (Melayu)
  3. American Mongoloid (Suku Indian)
Suku Bangsa Melayu (Malayan Mongoloid) yang terdapat di Indonesia dalam proses menetapnya dibedakan menjadi dua yaitu
  1. Bangsa Melayu Tua (Proto Melayu)
  2. Bangsa Melayu Muda (Deutro Melayu)
Pada awalnya, Suku Moronene adalah bangsa nomaden, yang selalu berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, hingga akhirnya mereka menetap di kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Sebuah peta yang dibuat oleh pemerintah Belanda pada tahun 1820 sudah tercantum nama Kampung Hukaea sebagai kampung terbesar suku Moronene, yang saat ini wilayah pemukiman mereka ini masuk dalam areal Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Kampung pemukiman suku Moronene ini tersebar di beberapa kabupaten di Sulawesi Tenggara termasuk Kota Kendari, mereka mengungsi dan bermigrasi akibat gangguan keamanan dari Darul Islam sekitar tahun 1952-1953. Kampung Hukaea, Laea, dan Lampopala, bagi orang Moronene disebut sebagai Tobu Waworaha atau perkampungan tua bekas tempat tinggal para leluhur mereka.
Adat dan Budaya Suku Moronene
Adat Morongo Kompe
Adat Morongo Kompe
Suku Moronene adalah salah satu suku bangsa yang mempunyai beraneka ragam adat istiadat dan kebiasaan yang dijalankan oleh masyarakat sebagai warisan budaya leluhur yang terus menerus dilestarikan sampai saat ini. Salah satu tradisi adat Moronene yang menjadi ciri keunikan dengan suku lain adalah adat perkawinan. Adat perkawinan ini masih tetap di junjung tinggi dan dilaksanakan karena terikat dengan hukum-hukum adat yang wajib ditaati oleh segenap masyarakatnya. Adat perkawinan ini juga merupakan salah satu pencerminan kepribadian atau penjelmaan dari pada suku Moronene itu sendiri dalam memperkaya budaya-budaya di Indonesia.
Masyarakat Moronene (Kabaena) sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia dengan keanekaragaman suku yang mendiami seluruh pelosok tanah air melambangkan pula keanekaragaman budaya dan keanekaragaman hukum adat yang mengatur perkawinan. Berlakunya hukum adat perkawinan dalam setiap masyarakat atau suku sering berbeda-beda. Tata cara adat perkawinan antara masyarakat yang satu dengan yang lain, demikian pula adat perkawinan suku moronene memiliki adat perkawinan yang berbeda-beda dengan berbagai suku bangsa di Indonesia akan tetapi dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut justru merupakan unsur yang penting yang memberikan identitas kepada setiap suku bangsa di Indonesia.
Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa hubungan kekerabatan pada suku Moronene (Kabaena), Kabupaten Bombana. terlihat sangat kuat dari berbagai persiapan proses adat perkawianan yang akan dilaksanakan, salah satunya persiapan bahan, benda atau alat yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan. Dimana benda-benda yang digunakan tersebut merupakan syarat yang wajib dilaksanakan sebagai sebuah simbol yang memiliki makna tersendiri.
Sebagai salah satu produk budaya, simbol benda-benda yang digunakan dalam adat perkawinan merupakan bentuk pengungkapan yang pada prinsipnya bertujuan untukmengkomunikasikan pikiran dan perasaan masyarakat yang tumbuh dan bekembang dari waktu ke waktu. Salah satu bentuk pengungkapan simbol sebagai produk budaya adalah folklor yaitu yang berbentuk ungkapan tradisional (James Danandjaja dalam Sirajudin. 1993: 2). Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang  tersebar dan diwariskan secara turun temurun, di antara kolektif macam apa saja secara tradisional dalam versi yang berbeda.
Makna simbolik benda dalam adat perkawinan sebagai salah satu karya sastra (budaya),menawarkan permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan. Namun hal itu dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya yang sekaligus memasukkan unsur-unsur nilai religius dan memang segala sesuatu itu berdasarkan kepada suatu yang religius (Wellk dan Warren dalam Darmawan. 2006: 2). Hal itu disebabkan karena pada dasarnya setiap orang yang mampu menghayati tanda dan lambang sebagai sarana untuk perenungan terhadap hakikat hidup dan kehidupan, Perenungan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Makna simbolik benda yang digunakan dalam prosesi adat perkawinan masyarakat suku Moronene, ditinjau dari fungsinya adalah sebagai pemantapan lahir dan batin bagi kedua mempelai, dimana kedua mempelai adalah dua insan yang berlainan jenis dari segala sisi namun sama dalam titik hidup dan kehidupan.
Dilihat dari lahiriahnya makna simbol dari benda-benda dalam adat perkawinan suku Moronene itu, di sesuaikan dengan tahapan-tahapan dalam prosesi adat perkawinan suku Moronene, mengenai bentuk dan jenis benda tersebut telah ditetapkan dalam ketentuan hukum adat suku Moronene yaitu:
Tahap Mongapi (peminangan) atau biasa disebut juga morongo kompe disini telah ditentukan  benda yang digunakan adalah pinca (piring), rebite (daun sirih), Wua (Pinang), tagambere (gambir), Ahu (tembakau), serta Ngapi (Kapur Sirih).
Tahap mesampora (Masa Pertunangan) alat dan bahan yang digunakan pada masa pertunangan adalah sawu (sarung) sinsi wula (cincin emas). Alat dan bahan yang digunakan pada saat mongtangki (mengantar buah) adalah nilapa (ikan salai yang dibungkus pelepah pinang) punti (pisang), Towu (tebu), Ni’i Mongura (kelapa muda), Gola (gula Merah), tagambere (gambir), wua (pinang), rebite (sirih), Kompe (keranjang yang terbuat dari daun agel), duku (nyiru).
Molangarako (mengantar kedua pengantin kerumah orang tua laki-laki), adapun benda yang digukan adalah kain putih (kaci), benang putih (bana) dan kelapa (nii), beras (inisa), lesung (nohu), kampak (pali), peti (soronga). Penyerahan pokok adat(langa) sebelum akad nikah dilaksanakan, adapun benda-benda dalam (langa)  yaitu karambau(kerbau), sawu (sarung) dan kaci (kain putih) serta empe (tikar yang terbuat dari daun pandan).
Benda – benda adat yang digunakan sesuai pada tahapan dan waktu yang telah dientukan oleh para tokoh adat di atas, tentunya memiliki nilai tersendiri yang sangat bermakna bagi mereka. Nilai-nilai ini berhubungan dengan hidup dan kehidupan manusia baik secara vertikal dengan sang pencipta maupun secara horizontal dengan sesama manusia.
Nilai yang tertuang dalam adat perkawinan suku Moronene adalah:
Pertama nilai religius yang berkaitan erat dengan unsur kepercayaan tentang adanya makhluk gaib, makhluk halus dan roh-roh jahat serta kepercayaan tentang adanya sang pencipta alam dan beserta isinya, yakni Allah SWT.
Kedua nilai estetika menyangkut sikap dan penampilan seseorang dalam mengungkapkan dan menikmati hal-hal yang megandung nilai-nilai keindahan dan artistik karya manusia.
Ketiga nilai sosial adalah suatu nilai yang terdapat pada setiap individu mewujudkan pada orang lain atau lingkungannya sehingga dapat terlihat dan terwujud suatu kerjasama yang baik dengan dan dilandasi suatu pengertian bahwa satu pekerjaan bila dikerjaka secara bersama-sama bagaimanapun beratnya akan terasa ringan.
Masyarakat Kabaena khususnya suku Moronene (kabaena)  saat ini umumnya tidak memahami dengan jelas makna simbolik apa yang sebenarnya tersirat dalam benda-benda adat yang digunakan dalam perkawinan suku moronene, sehingga nilai-nilai yang terkandung didalamnya hanya di ketahui oleh kalangan tokoh-tokoh adat saja. Ini terlihat bahwa kurangnya inisiatif dari para pemuda atau remaja untuk mempelajari adat istiadat budayanya sendiri, yang diharapkan dapat menjadi penerus dan pemelihara kelestarian budaya lokal sebagai ciri khas suku Moronene di Kabaena.

Kebudayaan Suku Wolio

Suku Wolio 1.jpg
Suku Wolio adalah suatu suku yang tersebar di kepulauan Buton, Muna dan Kabaena di provinsi Sulawesi Tenggara. Juga terdapat di pulau-pulau kecil di provinsi Selatan. Populasi suku Wolio diperkirakan lebih dari 30.000 orang. Suku Wolio berbicara dengan bahasa Wolio. Bahasa Wolio merupakan sub-bahasa Buton-Muna, yang termasuk cabang bahasa Austronesia.
Menurut para peneliti bahwa suku Wolio ini merupakan bagian dari sub-suku Buton. Dikatakan bahwa dahulunya orang Wolio juga merupakan keturunan dari Kerajaan Buton yang sejak abad 15 menguasai wilayah Buton. Hingga saat ini bahasa Wolio masih dipakai oleh masyarakat khususnya yang ada di Kota Bau-Bau, namum bahasa Wolio ini tetap dikenal oleh masyarakat dari berbagai penjuru daerah bekas pemerintahan kerajaan atau kesultanan Buton.
Bahasa Wolio juga menjadi bahasa komunikasi utama di lingkungan Kesultanan Buton. Pilihan penggunaan bahasa Wolio sebagai bahasa utama karena bahasa ini dipakai oleh masyarakat yang mendiami pusat Kesultanan Buton. Masyarakat yang berada dalam wilayah Kesultanan Buton terdiri atas beberapa subetnis sehingga dibutuhkan bahasa pemersatu. Lalu bahasa Buton dipilih sebagai bahasa pemersatu berbagai etnik tersebut, dan bahasa resmi kesultanan.
Perkawinan dalam kebudayaan Buton bersifat monogami. Setelah menikah, pasangan tinggal di rumah keluarga mempelai perempuan sampai sang suami mampu memiliki rumah sendiri. Rumah tempat tinggal suku Wolio didirikan di atas sebidang tanah dengan menggunakan papan yang kuat, dengan sedikit jendela dan langit-langit yang terbuat dari papan yang kecil dan ditutupi daun kelapa kering.
Masyarakat suku Wolio pada umumnya beragama Islam. Agama Islam yang berkembang di wilayah ini adalah dari golongan Sufi. Namun beberapa dari mereka masih mempercayai hal-hal gaib dan percaya terhadap roh-roh di sekeliling mereka. Mereka juga mempercayai roh para leluhur mereka yang dapat menolong dan menimbulkan penyakit tergantung dari sikap dan perilaku mereka.
Salah satu tradisi suku Wolio yang populer di kalangan suku Wolio adalah upacara Pekandake-Kandea, dalam bahasa Wolio berarti makan-makan. Tradisi ini memiliki banyak makna, tidak sekadar sebagai bentuk nyata rasa syukur kepada Tuhan setelah menjalankan ibadah puasa selama satu bulan atau puasa syawal. Tradisi ini juga merupakan media yang digunakan muda-mudi Buton untuk mencari jodoh. Dahulu tradisi ini merupakan pesta menyambut pahlawan yang kembali membawa kemenangan setelah berperang.
Orang Wolio pada umumnya telah mengenal teknik pertanian. Mereka bertahan hidup pada bidang pertanian. Tanaman padi juga menjadi tanaman utama mereka. Suku Wolio juga menanam jagung, ubi kayu, ubi jalar, sayur-sayuran dan berbagai jenis buah-buahan. Selain itu sebagian dari mereka hidup sebagai nelayan penangkap ikan, seperti ikan tuna dan ikan ekor kuning dan juga sebagai pembuat perahu dan kapal.
Perkampungan pemukiman mereka banyak terdapat penjual hasil tenunan dari sutera, katun dan sejenisnya. Selain itu juga memiliki toko-toko kecil dan penjaja keliling, di mana hal ini terlihat dari gerobak-gerobak yang mereka buat untuk berjualan.
Saat ini, banyak orang-orang Wolio asli yang tinggal di Indonesia bagian timur (Maluku dan Irian Jaya). Dalam masyarakat Wolio, laki-laki yang mencari nafkah, sedangkan wanita menyiapkan makan, melakukan pekerjaan rumah tangga, membuat barang-barang dari tanah liat, menenun dan menyimpan uang yang telah dikumpulkan oleh kaum laki-laki.
Sejak dulu, orang Wolio juga sangat mementingkan pendidikan. Pendidikan yang baik terhadap anak laki-laki dan perempuan membuat mereka memiliki kesusasteraan yang maju. Tidak ketinggalan pula dalam hal mempelajari bahasa asing. Karena itu, saat ini mulai terlihat hasil-hasil kemajuan di bidang sosial.

Kebudayaan Suku Mekongga

Suku Mekongga, adalah salah suatu komunitas masyarakat adat yang berdiam di kabupaten Kolaka dan sebagian kecil juga terdapat di kabupaten Kolaka Utara Sulawesi Tenggara.

Suku Mekongga merupakan salah satu sub-etnik dari suku Tolaki. Menurut orang Tolaki, bahwa orang Mekongga adalah orang Tolaki juga. Istilah Mekongga, konon berasal dari kata "to mekongga", yang berarti "to" berarti "orang" dan "mekongga" berarti "pembunuh burung elang raksasa", jadi kata "to mekongga" berarti "orang yang membunuh burung elang raksasa". Sedangkan burung elang raksasa dalam bahasa Mekongga adalah "Konggaha’a".


Kabupaten Kolaka tempat kediaman suku Mekongga ini disebut juga sebagai "Bumi Mekongga". Di daerah pemukiman orang Mekongga terdapat sebuah gunung yang bernama gunung Mekongga. Menurut orang Mekongga sendiri gunung Mekongga merupakan gunung keramat. Menurut cerita rakyat, di gunung ini terdapat Tebing Putih yang bernama Musero-sero yang merupakan pusat kerajaan jin untuk wilayah Kolaka Utara.

Dari satu cerita rakyat bahwa asal usul orang Mekongga, adalah berasal dari 2 kelompok orang dalam waktu yang sama sedang melakukan perjalanan migrasi ke daratan Sulawesi Tenggara. Kelompok pertama bermukim pertama kali di daerah hulu sungai Konaweeha, melalui daerah Mori dan Bungku bagian timur laut Sulawesi. Sedangkan kelompok lain melalui danau Towuti dan terus ke arah selatan. Kedua kelompok ini bertemu di suatu tempat yang disebut Rahambuu dan tinggal beberapa lama, dan terjadi percampuran etnis setelah melakukan perkawinan campur di antara mereka, sehingga mereka menjadi satu etnis. Setelah sekian lama hidup di tempat ini, kelompok ini terpecah dua dan pergi meninggalkan tempat ini. Kelompok pertama berjalan menyusuri lereng gunung Watukila lalu membelok ke arah barat daya dan sampai di suatu tempat yang mereka namakan Lambo, Laloeha, dan Silea. Mereka inilah yang kemudian menamakan diri sebagai orang Mekongga yang menempati wilayah Kolaka sekarang. Sedangkan yang satu kelompok berjalan menyururi sungai Konaweeha dan tiba di suatu tempat yang bernama Andolaki, lalu dari tempat ini, mereka melanjutkan perjalanan hingga sampai di suatu tempat yang luas yang ditumbuhi alang-alang dan tempat ini mereka namakan Unaaha. Tempat ini kemudian menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Konawe yang wilayahnya meliputi seluruh wilayah Kabupaten Kendari. Di tempat ini lah mereka berkembang menyebarkan wilayah pemukiman dengan cara menempati daerah-daerah yang subur untuk berlandang, berburu, beternak dan selanjutnya kelompok ini menamakan diri mereka sebagai orang Tolaki Konawe.

Berdasarkan cerita di atas, maka ada anggapan bahwa suku Mekongga dan suku Tolaki adalah berasal dari suatu tempat yang sama. Walaupun pada dasarnya saat ini mereka memiliki identitas yang berbeda, tetapi berdasarkan asal usul sejarah, mereka berasal dari satu nenek moyang yang sama.

Pendapat lain mengatakan bahwa orang Mekongga berasal dari satu rumpun dengan penduduk di sekitar danau Matana dan danau Mahalona, selanjutnya terjadi migrasi kemudian sampai di Alaaha, kemudian sebagian dari kelompok mereka melewati gunung Watukila atau pegunungan Mekongga, kemudian membelok ke arah barat dan sampai di daerah Unenapo. Toono Dadio selaku penduduk baru belum ada marga maupun sukunya. Setelah tinggal beberapa lama di daerah ini kemudian terbentuk beberapa wilayah pemukiman kecil, seperti: Alaaha, Rahambuu, Ueesi, Parabua, dan Sanggona, kelompok masyarakat tersebut dikepalai seorang yang disebut Owati (penguasa), daerah kekuasaannya diberi nama Wonua Unenapo.

Sumber lain mengungkapkan bahwa nenek moyang orang Mekongga bermigrasi dari danau Mahalona kemudian mereka tersebar melalui sungai Lasolo, lalu mereka menetap di daerah Wawolesea Pesisir, tepatnya di Matarape (Matatehae) mereka berkembang sekitar 7 generasi, tetapi akibat datangnya gangguan bajak laut, mereka menyelamatkan diri menyingkir ke daerah lembah aliran sungai Landawe.

tari Lulo
Masyarakat Mekongga dalam menjaga alam mereka memiliki tata aturan adat sendiri dalam mengelola alam sekitar mereka. Membuka lahan baru dengan cara membakar masih dipraktekan oleh suku Mekongga, tapi dengan tata aturan adat mereka. Pembukaan kawasan hutan dengan cara menebang pepohonan dan membakarnya dilakukan dengan beberapa tahapan:
  • Monggiikii ando'olo, pemilihan lokasi perladangan
  • Mohoto o wuta, upacara pra monda’u
  • Mosalei, menebang pepohonan kecil, menebas akar-akaran dan lain-lain
  • Monduehi, menebang pepohonan besar
  • Humunu, membakar
  • Mo'enggai, membersihkan sisa-sisa pembakaran
  • Motasu, menanam padi
  • Mosara dan Mete'ia, membersihkan rerumputan dan menjaga tanaman
  • Mosawi, panen
  • Molonggo, memasukan ke dalam lumbung

Oleh karena itu suku Mekongga tidak pernah secara kasar membuka lahan, semua telah diatur oleh sistem adat suku Mekongga, sehingga kelestarian alam tetap terjaga.
Masyarakat suku Mekongga pada umumnya hidup pada bidang pertanian. Mereka menanam padi sebagai tanaman pokok mereka. Selain itu mereka juga menanam jagung, ubi kayu dan ubi jalar. Beberapa hewan ternak juga menjadi kegiatan tambahan bagi mereka. Di antara mereka ada juga yang menjadi pedagang dan juga berprofesi sebagai nelayan penangkap ikan. Saat ini banyak juga dari orang Mekongga yang telah bekerja di sektor swasta dan sektor pemerintahan.