Monday, 18 April 2016

Perjanjian Bongaya dan Hubunganya dengan Penangkapan Raja Muna La Ode Ngkadiri



bongaya
Perjanjian Bongaya adalah perjanjian antara yang Sultan Hasanuddin (Raja Gowa/Makassar) dengan Belanda (VOC) akibat kalahnya pasukan Sultan Hasanuddin dalam perang melawan Belanda. Belanda yang saat itu dibantu oleh Pasukan Sultan Buton dan Raja Bone yang bernama Aru Palaka dapat mengalahkan pasukan Sultan Hasanuddin. Sultan Hasanudin adalah Raja Gowa/Makassar yang gigih melawan Belanda dan tidak bisa dikalahkan sehingga Ia dijuluki “Ayam Jantan dari Timur”.
Kerajaan Makassar mencapai puncak kejayaan pada masa Sultan Hasanudin. Ia berusaha mempersatukan seluruh Kerajaan-kerajaan di Indonesia Timur untuk melawan Belanda. Namun usahanya ini justru tidak disengangi oleh bangsawan-bangsawan bugis dalam hal ini Kerajaan Bone yang dipimpin oleh Aru Palaka. Kesultanan Buton juga saat itu yang telah ditaklukan Gowa berbalik bekerja sama dengan Belanda. Hanya beberapa kerajaan saja yang menolak kerja sama dengan Belanda termasuk kerajaan Muna yang saat itu dipimpin oleh La Ode Ngkadiri (Raja Muna XII). Pasukan Belanda dan Kesultanan Buton sering terlibat perang dengan Kerajaan Muna. Pasukan Raja Muna La Ode Ngkadiri dapat mengalahkan pasukan Buton yang dibantu Belanda.
bongaya
Kegagalan-kegagalan Belanda dalam melawan Pasukan Sultan Hasanudin dan juga Kerajaan Muna yang tidak kunjung mendapatkan kemenangan membuat Belanda berpikir bagaimana cara memenangkan perang. Belanda akhirnya mengadakan perjanjian dengan Aru Palaka dimana jika berhasil mengalahkan Sultan Hasanudin maka ia akan diakui secara resmi sebagai Raja Bone. Kesepakatan pun terjadi. Sedangkan untuk bekerja sama dengan Muna, Belanda menyusun siasat untuk menjodohkan Wa Ode Sope. Wa Ode Sope adalah putri Sapati Baluwu yang dibesarkan oleh Belanda bahkan diangkat sebagai anak oleh Coenelis Spelmann panglima Belanda di Indonesia Timur saat itu. Rencana pernikahan Wa Ode Sope dengan Raja Muna La Ode Ngkadiri batal terjadi sebab pada saat itu sapati Baluwu yang menjadi Sultan Buton bekerja sama dengan Belanda untuk menyerang pasukan Sultan Hasanudin bersama Aru palaka. Bahkan pada saat itu Raja La Ode Ngkadiri menikahi putri Sapati Kapolangku yang bernama Wa Ode Wakelu sebab sapati Kapolangku adalah Sapati Kesultanan Buton yang menolak kerja sama dengan Belanda. Perang antara Muna dan Buton yang dibantu Belanda kembali terjadi tetapi lagi-lagi Raja La Ode Ngkadiri tidak dapat terkalahkan apalagi disokong oleh Mertuanya yang tentu mempunya pengaruh di Kesultanan Buton.
Belanda semakin dibuat pusing, Muna tidak dapat ditaklukkan sementara perang dengan Sultan Hasauddin juga belum bisa dilakukan sebab jika pasukan Belanda yang dibantu Aru Palaka dan Kesultanan Buton tiedak dapat dilakukan dan akan dihalangi oleh Kerajaan Muna. Apalagi saat itu konon Aru Palaka bersembunyi di Buton. Maka jalan satu-satunya Belanda mengadakan tipu muslihat dengan mengajak Raja La Ode Ngkadiri berunding untuk berdamai. Belanda mengundang Raja La Ode Ngkadiri untuk berunding di atas kapal Belanda dimana di atas kapan itu telah ata Sultan Buton dan Sultan Ternate namun dengan syarat tidak boleh membawa pasukan dan senjata. Di atas kapal tersebut konon terdapat taman yang dalam bahasa Muna disebut Kaindea. Raja La Ode Ngkadiri akhirnya ditangkap dan beredar kabar ia ditawan di Buton dan ada kabar lagi bahwa ia diasingka di Ternate. Pada saat itu raja La Ode Ngkadiri disebut Sangia Kaindea.
Tertangkapnya La Ode Ngkadiri membuat permaisurinya Wa Ode Wakelu tampil memimpin kerajaan Muna dan berusaha untuk menyelematkan Raja. Dalam kesibukan ini, Belanda, Aru Palaka dan Buton mulai menyerang pasukan Sultan Hasanudin dan berhasil mengalahkan Sultan Hasanudin sementara kerajaan Muna masih berusaha menyelematkan sang raja yang ditangkap dan diasingkan. Kekalahan Sultan Hasanudin membuat ia harus menandatangani perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667 dimana isi ringkasnya adalah sebagai berikut:
  1. VOC (Belanda) berhak memonopoli di Makassar
  2. Aru Palaka diakui sebagai Raja Bone
  3. Belanda berhak mendirikan benteng di Makassar (benteng ini disebut Benteng Forf Rotterdam)
  4. Makassar (Gowa) harus melepasan daerah jajahannya
  5. Kerajaan Makassar hanya meliputi wilayah Gowa
  6. Bangsa asing harus diusir dari Makassar kecuali VOC
  7. Makassar harus mengganti biaya perang
Isi lengkap perjanjian Bongaya dapat dilihat di http://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_Bungaya.
Setelah perjanjian Bongaya raja Muna La Ode Ngkadiri baru berhasil kembali ke kerajaan Muna.
Walaupun perjanjian Bongaya telah ditandatangani namun perang antara Sultan Hasanudin masih terjadi hingga Benteng Fort Rotterdam dihancurkan. Penulis tidak mengetahui apakah saat itu Kerajaan Muna membantu pasukan Sultan Hasanuddin atau tidak namun ada permintaan Sultan Hasanudin saat itu yang menyeberang melalui Tiworo uintuk datang meminta bantuan Kerajaan-kerajaan lain untuk melawan Belanda. Sultan Hasanudin wafat pada tahun 1670. Jika saja raja La Ode Ngkadiri saat itu tidak tertangkap mungkin perang antara Belanda yang dibantu oleh Aru Palaka dan Buton tidak akan terjadi. Semoga bermanfaat.

3 comments:

  1. mau tanya
    sapati baluwu nama lengkap nya siapa dan gelar nya apa kalau ada ?
    thanks

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sangia sapati baluwu(panglima Buton) nama aslinya laode Arfani dan laode Arfani disahkan menjadi laode karna pada sa,at itu dimekarkan payung keraja,an Buton... cuma laode Arfani yg dimekarkan payung keraja,an pada sa,at itu,,,

      Delete
  2. Sapati baluwu panglima keraja,an Buton
    Dan namanya adalah laode Arfani dan dan dia menikah diambon dan mempunyai anak 1 perempuan 1 laki2 dan cerita yg diatas itu 75% salah 25% benar,,,

    ReplyDelete