Monday, 18 April 2016

Sistem Pemilihan Raja Muna




pilih-raja
Kerajaan Muna adalah salah satu kerajaan di Sulawesi Tenggara yang berdiri pada abad XIV hingga setelah Indonesia merdeka. Pada awalnya kerajaan ini adalah bukan kerajaan Islam, nanti pada masa pemerintahan La Ode Saaduddin raja-raja Muna yang dilantik dilantik secara Islam yakni terlebih dahulu mengucapkan 2 (dua) kalimat sahadat setelah itu dilanjutkan dengan ikrar sumpah Raja. Proses pengangkaan raja di Kerajaan Muna berbeda dengan kerajaan di tanah Jawa dan Sumatera dimana raja harus dipilih dahulu oleh suatu dewan Kerajaan yang disebut Sarano Wuna (dalam bahasa Melayu dikenal dengan nama Dewan Syarat Muna).  Sarano Wuna ini bertugas memilih, mengangkat, melantik, mengawasi dan memberhentikan Raja bahkan dapat menjatuhkan hukuman kepada Raja jika melanggar sumpah termasuk hukuman mati.  Sarano Wuna dibentuk pada masa pemeritahan Sugi Manuru namun dilakukan pembaharuan pada masa pemerintahan Raja La Rampei Somba kemudian dirombak lagi pada masa pemerintahan La Titakono serta pada masa pemerintahan La Ode Saaduddin.
Pada awalnya terbentuknya kerajaan Muna, raja pertama La Eli diangkat oleh Mieno Wamelai. La Eli kemudian digantikan oleh putranya La Patola atau Kaghua Bhangkano Fotu yang bergelar Sugi Patola. Pada pemerintahan Sugi Patola diangkat seorang penasehat Raja yang bernama La Singkanabu putra Mieno Wamelai. La Singkanabu ini menikah dengan Wa Kila Mbibito saudara La Patola. Hanya saja keturunan La Eli inilah yang berhak menjadi Raja sedangkan keturunan La Singkanabu bisa menjadi penasehat Raja. Pengangkatan Raja yang turun-temurun ini berlanjut hingga pada masa pemerintahan Raja La Manuru yang bergelar Sugi Manuru .  Pada masa pemerintahan Sugi Manuru banyak perubahan pada sistem kerajaan Muna yakni masyarakat Muna dibagi menjadi 4 golongan (kasta), yakni sebagai berikut:
  1. Golongan Kaomu, yakni golongan bangsawan. Golongan ini adalah yang berhak menjadi Raja, Kapitalau dan Kino serta jabatan bangsawan lainnya
  2. Golongan Walaka, yakni golongan adat, memegang jabatan Bhonto Bhalano (Perdana Menteri), Mintarano Bhitara (Hakim), Koghoerano (Pemimpin Wilayah), serta jabatan-jabatan lainnya. Bhonto Bhalano dapat menjadi pelaksana Raja dalam kondisi darurat.
  3. Golongan Anangkolaki, golongan ini biasanya memegang jabatan di bawah Ghoera (wilayah)
  4. Golongan Maradika. Golongan ini juga bisa memegang jabatan dalam sesama golongan mereka dalam 1 kampung.
Muncul pertanyaan, mengapa Sugi Manuru mengelompokkan masyarakatnya ke dalam 4 golongan atau bahkan keturunannya pun ada yang digolongkan ke dalam golongan Anangkolaki?
Walaupun 4 (empat) golongan (kasta) ini sama dengan dalam Agama Hindu tetapi tidak ada pendapat yang menyebutkan bahwa pada masa itu pengaruh Kebudayaan Hindu masuk ke kerajaan Muna. Namun pada masa pemerintahan Raja Sugi Manuru pengaruh Islam sudah ada yakni datangnya penyebar Islam yang pertama yang bernama Syeh Abdul Wahid dan berhasil mengislamkan putra Raja Muna yang bernama La Kila Ponto (saat menjadi Sultan Buton dinamakan Sultan Murhum Qaimudin).  Pada masa pemerintahan sugi Manuru dibentuk suatu Dewan Kerajaan yang disebut Sarano Wuna. Sarano Wuna bertugas memilih dan mengangkat raja, memberi pertimbangan kepada Raja, mengadili sang Raja, memberhentikan Raja bahkan menghukum raja jika melanggar.
Jika sebelumnya Raja yang memerintah adalah selalu dari keturunan Sugi namun pada masa Sugi Manuru hal ini diubah yakni dibentuknya Sarano Wuna. Kemungkinan pembentukan Sarano Wuna ini untuk mencegah terjadinya perebutan kekuasaan antara putra-putranya atau keturunan selanjutnya. Maka dengan adanya Sarano Wuna, maka kuasa penuh pengangkatan raja ada pada Sarano Wuna. Pada masa pemerintahan Sugi Manuru anggota Dewan Sarano Wuna adalah sebagai berikut:
  1. 4 (empat) orang Kamokula dari 4 (empat) wilayah yang merupakan representasi dari seluruh wilayah
  2. 4 (empat) orang Mieno dari fatolindono
Sugi Manuru memiliki 3 (tiga) orang istri dan Setelah Sugi Manuru mangkat, ada 3 (tiga) orang pangeran yang berhak menjadi Raja pada saat itu yakni La Kila Ponto, La Posasu dan La Rampei Somba. La Posasu sebenarnya berhak menjadi Raja sedangkan La Kila Ponto pada saat itu telah menjadi Raja Konawe (Mokole Konawe) karena ibunya putri Raja Konawe dan juga menjadi Raja Muda di Buton untuk menggantikan Raja Mulae (Raja Buton) kelak karena berhasil mengalahkan bajak laut La Bolontio. Namun hasil musyawarah Sarano Wuna yang terdiri atas 4 kamokula dan 4 mieno memutuskan untuk mengangkat La Kila Ponto sebagai Raja Muna. Kemungkinan  karena saat itu dianggap lebih mampu. Tidak lama menjadi Raja Muna, ia akhirnya menggantikan mertuanya menjadi Raja Buton, sedangkan di Muna jabatan Raja dipegang oleh adiknya yang bernama La Posasu atas persetujuan Dewan Sarano Wuna pada tahun 1541 M. Setelah La Posasu kemudian digantikan oleh saudaranya yang bernama La Rampei Somba pada tahun 1551 M.  Pengganti La Rampei Simba adalah putranya yang bernama La Titakono  pada tahun 1.600 M. Pada masa La Titakono terjadi perubahn besar-besaran dalam tatanan Kerajaan Muna. Pada saat itu Raja La Titakono mengadakan rapat yang diikuti oleh:
  • 4 (empat) Kamokula
  • 4 (empat) fato lindono
  • 26 kino. 26 Kino ini adalah dari golongan Kaomu yang memiliki kekuasaan sendiri atau disebut pemerintahan Bharata (kira-kira setingkat kadipaten di Kerajaan Jawa) yang dibentuk pada masa Raja La Kila Ponto.
Beberapa keputusan yang disepakati pada saat itu adalah:
  1. Pengangkatan seorang Bhonto Bhalano (Menteri Besar/semacam Perdana Menteri). Bhonto Bhalano ini bertindak sebagai pemimpin Dewan Sarano Wuna dan menjadi pelaksana Raja jika dalam keadaan darurat. Bhonto Bhalano ini berasal dari golongan Walaka.
  2. Pemerintahan 4 kamokula diganti dengan sistem pemerintahan Ghoera (wilayah) yang dipimpin oleh Koghoerano. Kemungkinan ghoera ini semacam propinsi saat ini. Koghoerano atau pejabat ghoera dari golongan Walaka. Koghoerano ini membawahi beberapa Bharata yang dipimpin oleh Kino dari golongan Kaomu dan sebagian bharata lainnya dipimpin oleh Mieno dari golongan Walaka jika di bharata tersebut tidak ada golongan Kaomu.
Jadi Sarano Wuna saat itu anggotanya terdiri dari 5 (lima) orang yakni Bhonto Bhalano dan 4 (empat) koghoerano. Sebenarnya Sarano Wuna kadang-kadang disebut Syarat Muna dan raja Muna pun termasuk dalam anggota Syarat Muna atau dapat dikatakan Pemerintahan Muna. Hanya saja Raja sebagai kepala negara namun semua kebijakan harus ada persetujuan Dewan Sarano Wuna jika menyangkut hajat hidup orang banyak. Sebagaimana dalam negara kita Indonesia saat ini Presiden dalam menerbitkan suatu keputusan harus meminta persetujuan DPR. Jadi pada saat itu pemerintahan pusat di Muna terdiri dari Eksekutif (Raja) dan Legislatif (Dewan Sarano Wuna). Sara artinya pemerintahan.
Pengganti La Titakono adalah saudaranya La Ode Saaduddin. Ia naik takhta kerajaan Muna pada tahun 1625 M. Pada masa pemerintahannya anggota Dewan Sarano Wunai ditambah yakni 1 orang mintarano Bhitara dan 2 orang kapitalau (Kapten Laut). Hanya saja Kapitalau disini tidak dapat memilih raja karena mereka dari golongan Kaomu dan kemungkinan mereka juga akan dicalon menjadi Raja. Kemungkinan masuknya Kapitalau sebagai anggota Sarano Wuna untuk mengimbangi kekuatan Raja jika suatu saat sang Raja membangkang perintah Sarano Wuna dan akan berhadapan dengan 2 orang kapitalau.  Jadi pada masa pemerintahan La Ode Saaduddin, pemerintahan pusat terdiri dari:
  1. Raja Muna (Omputo)
  2. Bhonto Bhalano (Perdana Menteri)
  3. 4 orang koghoerano (Lawa, Kabawo, Katobu dan Tongkuno)
  4. 1 orang Mintarano Bhitara (semacam hakim Agung)
  5. 2 orang Kapitalau.
Sedangkan yang berhak memilih, mengangkat, memberhentikan dan menghukum Raja dalah Bhonto Bhalano bersama 4 orang koghoerano dan mintarano Bhitara.
Pemilihan Raja
Jika seorang Raja mangkat atau diberhentikan, maka Sarano Wuna bersidang untuk memilih Raja. Namun raja yang akan dipilih diambil dari keluarga Raja sebelumnya (lihat Mengenal Sejarah dan Kerajaan Muna). Setelah terpilih seorang Raja selanjutnya diadakan pelantikan. Pada masa pemerintahan La Ode Saaduddin seorang raja yang akan naik takhta harus mengucapkan dahulu 2 (dua) kalimat syahadat. Setelah itu dilanjutkan dengan mengucapkan sumpah raja yakni sebagai berikut:
  1. Hansu-hansuruana badha sumano kono hansuru liwu
  2. Hansu-hansuruana liwu sumano kono hansuru Sara
  3. Hansu-hansuruana Sara sumano kono hansuru adahati
  4. Hansu-hansuruana adhati sumano konohansuru Agama.
Arti dan makna sumpah raja di atas adalah:
  1. Hansu-hansuruana badha sumano kono hansuru liwu artinya biarlah badan hancur asalkan negara tidak hancur atau dapat diartikan biarlah badan/raga binasa asalkan negara tetap tegak. Maksud dari sumpah ini ialah raja harus mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi, Raja harus rela diturunkan bahkan dihukum jika bersalah.
  2. Hansu-hansuruana liwu sumano kono hansuru Sara. Walaupun negara hancur/kacau asalkan pemerintahan tetap berjalan. Maksudnya dari sumpah kedua ini adalah walaupun Raja ditangkap atau terbunuh bukan berarti pemerintahan berakhir. Sebab Dewan kerajaan (Sara) tetap ada. Hal ini terbukti pada masa pemerintahan Raja Muna XII La Ode Ngkadiri ditangkap Belanda dan diasingkan bukan berarti kerajaan Muna dapat ditaklukkan namun masih tetap kokoh atas adanya Dewan Sarano Wuna yang menyetujui permaisuri Raja menjabat sementara raja Muna.
  3. Hansu-hansuruana Sara sumano kono hansuru adahati. Biarlah pemerintahan bubar/berakhir asalkan adat tetap terpakai.
  4. Hansu-hansuruana adhati sumano konohansuru Agama. Biarlah adat tidak terpakai asalkan agama tetap terpakai.

No comments:

Post a Comment