Dalam bahasa Muna kata Kawin diserap menjadi kata Kawi. Bahasa asli bahasa Muna menyebutkan kata kawin disebut dengan gaa. Gaa artinya kawin. Kata gaa memiliki beberapa sinomin di antaranya:
- Foporae. Foporae berasal dari kata dasar porae yang artinya calon suami/istri, suami atau istri. Jadi foporae dapat diartikan sebagai proses sebelum perkawinan atau dapat diartikan dengan kata pinangan. Istri/suami atau calon istri/suami secara halus kadang-kadang disebut porae. Bahasa yang lebih halus lagi disebut kata mieno lambu (orang rumah).
 - Pofileigho. Pofileigho berasal dari kata filei yang berarti lari. Pofileigho biasa diartikan sebagai saling melarikan atau kawin lari.
 - Polambu. Polambu berasal dari kata dasar lambu yang berarti rumah. Polambu dapat diartikan sebagai berumah tangga.
 
Di dalam Islam jika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan maka ada sejumlah mahar atau maskawin yang harus diberikan kepada sang perempuan. Dalam tradisi masyarakat Muna, dikenal ada 2 (dua) jenis mahar yakni mahar adat (katandugho) dan mahar kawin (mas kawin). Mahar adat atau dikenal dengan nama katandugho adalah sejumlah uang yang harus dikeluarkan oleh pihak laki-laki kepada keluarga perempuan dalam satuan bhoka. Sistem bhoka ini umumnya dikenal di Muna Induk sedangkan untuk Tiworo mengenal satuan riali (rial). Besarnya katandugho didasarkan pada status sosial (stratifikasi). Ada 4 (empat) golongan dalam masyarakat Muna, yakni:
- Golongan Kaomu (kaum bangsawan, pada masa kerajaan Kerajaan Muna umumnya memegang jabatan eksekutif seperti Raja, panglima, kapitalau, imam serta jabatan eksekutif lainnya)
 - Golongan Walaka (golongan adat, pada masa Kerajaan Muna umumnya memegang jabatan Legislasi, mengangkat dan memberhentikan raja bahkan menghukum raja jika bersalah)
 - Golongan Anangkolaki (golongan ketiga, jabatan yang dipegang misalnya Moji dan bisa menjadi pemimpin kampung dalam golongan yang sama atau di bawahnya)
 - Golongan Maradika (golongan keempat)
 
- Jika golongan Kaomu menikahi golongan Kaomu maharnya 20 bhoka. Jjika menikahi golongan di bawahnya maharnya tetap 20 bhoka dan keturunannya tetap menjadi golongan Kaomu.
 - Jika golongan Walaka menikahi golongan Walaka maharnya adalah 10 bhoka 10 suku. 1 suku bernilai setengah bhoka. Jadi 10 bhoka 10 suku sama dengan 12,5 bhoka. Jika golongan walaka menikahi golongan di bawahnya maharnya tetap 10 bhoka 10 suku. Khusus untuk golongan Walaka di Tongkuno maharnya 15 bhoka. Keturunannya tetap golongan Walaka.
 - Jika golongan Anangkolaki menikahi golongan Anangkolaki maharnya adalah 7 bhoka 2 suku (7,5 bhoka), jika menikahi golongan maradika maharnya tetap 7 bhoka 2 suku. Keturunannya tetap golongan Anangkolaki.
 - Jika golongan maradika menikahi golongan maradika maharnya 3 bhoka 2 suku (3,5 bhoka).
 - Jika golongan Walaka menikahi golongan Kaomu, maka maharnya adalah 35 bhoka. Keturunannya tetap golongan Walaka.
 - Jika golongan Anangkolaki menikahi golongan Walaka maharnya adalah 35 bhoka, jika menikahi golongan Kaomu maka maharnya adalah 75 bhoka. Keturunannya menjadi golongan Anangkolaki.
 - Jika golongan Maradika menikahi golongan Anangkolaki maharnya adalah 35 bhoka, jika menikahi golongan Walaka maharnya adalah 75 bhoka, jika menikahi golongan Kaomu maharnya penulis belum mengetahuinya akan tetapi kemungkinan 2 x 75 bhoka. Keturunan tetap menjadi golongan Maradika.
 - Jika orang Muna dari golongan apa saja menikahi suku lain maka mengikuti adat suku tersebut dan keturunannya menurut golongannya dalam masyarakat Muna walaupun menikahi seorang putri kerajaan di tempat lain tetap kembali ke golongan awalnya walaupun di tempat ia menikah anaknya menjadi putra mahkota. Misalnya golongan Maradika menikahi putri di Kerajaan Lain keturunanya tetap dianggap maradika jika kembali ke Muna walaupun di tempat istrinya itu menjadi pangeran atau putri serta keturunannya tidak bisa menjadi Raja di Muna.
 - Jika Suku lain/orang asing menikahi golongan Kaomu, maharnya adalah 110 bhoka. Keturunannya menjadi golongan Kaomu dan berhak menggunakan gelar La Ode. Pada zaman dahulu keturunannya bisa menjadi Raja Muna. Sebagai contoh pernikahan antara Daeng Marewa dengan Wa Ode Kadingke, anaknya bernama La Ode Saete menjadi Raja Muna.
 - Jika Suku lain/orang asing menikahi golongan Walaka, maharnya adalah 80 bhoka. Keturunannya menjadi golongan Walaka
 - Jika Suku lain/orang asing menikahi golongan Anangkolaki, maharnya adalah 40 bhoka. Keturunannya menjadi golongan Anangkolaki.
 - Jika Suku lain/orang asing menikahi golongan Walaka, maharnya adalah 20 bhoka. Keturunannya menjadi golongan Maradika.
 - Laki-laki suku lain dari Suku Wolio atau etnis buton lainnya dianggap sama dengan suku Muna dan mengenai maharnya tergantung golongannya, sebab pada umumnya status sosial (stratifikasi) antara suku Muna, Wolio dan etnis Buton lainnya pada dasarnya adalah sama.
 
Proses Perkawinan/Pernikahan
Untuk menikahi seseorang perempuan baik orang Muna ataupun orang asing yang akan menikahi perempuan Muna, ada beberapa sistem seseorang untuk menikah di antaranya adalah:
- Kasai bhoa. Kasai artinya menangkap/mengambil secara paksa sedangkan bhoa artinya elang. Jadi dapat diartikan bahwa kasai bhoa adalah menangkap seperti elang. Seseorang laki-laki dikategorikan kasai bhoa jika melarikan perempuan ke rumah Imam tanpa diketahui oleh orang tua perempuan bahwa laki-laki tersebut tunangannya anaknya. Jika hal ini terjadi maka selain mahar sesuai ketentuan adat, denda adat yang harus ditanggung oleh si laki-laki. Jika tidak ingin dikategorikan dalam kasai bhoa maka hendaknya kita diketahui oleh orang tua perempuan bahwa kita adalah tunangannya anaknya misalnya membantu orang tua perempuan walaupun sesaat dan orang tua perempuan akan mengetahui bahwa laki-laki tersebut ingin menikahi anaknya. Perkawinan seperti ini dianggap kawin lari dalam kategori kasai bhoa.
 - Karorondo tewo lambu karorondo we wite (gelap di atas rumah, gelap pula di luar rumah), maksudnya bahwa orang tua perempuan tidak mengetahui kapan anaknya meninggalkan rumah. Perkawinan seperti ini dianggap kawin lari.atau pofileigho.
 - Kantalea tewo lambu kerorondo we wite. Arti kalimat ini sebenarnya adalah terang di atas rumah, gelap di tanah (gelap di luar rumah). Maksudnya orang tua perempuan tahu bahwa anaknya akan dilarikan oleh si A ke rumah Imam bahkan pamit kepada orang tuanya, namun kalau sudah keluar rumah yang punya anak perempuan seakan-akan tidak tahu. Perkawinan seperti ini dianggap kawin lari atau pofileigho.
 - Kantalea tewo lambu kantalea we wite. Artinya terang di atas rumah, terang di tanah (di luar rumah). Untuk sistem ini ada beberapa istilah di antaranya:
- Defenagho tunggu karete. Artinya adalah menanyakan penunggu halaman maksudnya adalah keluarga keluarga pihak laki-laki akan berkunjung ke rumah orang tua/keluarga perempuan dan menanyakan bahwa apakah anaknya belum memiliki tunangan.
 - Defoaempe. Artinya adalah menaikkan, maksudnya menaikkan sejumlah uang atau barang-barang yang akan digunakan saat perta pernikahan berlangsung sesuai kesepakatan kedua belah pihak.
 - Kafeena. Pada prinsipnya sama dengan pada nomor 1 di atas hanya nilainya berbeda. Kafeena pada sistem ini menurut adat dan dihitung dengan bhoka tergantung golongan masing-masing dan mengikuti golongan yang lebih tinggi. Kefeena ini juga diberikan singkaru bulawa (cincin emas) kepada perempuan.
 - Paniwi. Paniwi biasanya disamakan dengan feompu artinya bahwa pada zaman dahulu seseorang yang ingin melamar seorang gadis biasanya membantu orang tua perempuan untuk mendapatkan restu ayahnya. Pada saat sekarang besarnya paniwi dihitung dalam bhoka. Besarnya penulis belum mengetahuinya.
 - Kantaburi. Kantaburi berasal dari kata taburi artinya tindis, namun sebenarnya kantaburi adalah kafeena kedua namun tidak ada cincin emas lagi.
 - Lolino ghawi, artinya pengganti gendongan maksudnya adalah pihak laki-laki membayar sejumlah tententu sesuai ketentuan adat untuk ibu sang perempuan yang telah membesarkannya sewaktu kecil. Pada zaman dahulu lolino ghawi ini tidak ada untuk golongan La Ode yang memiliki jabatan karena anak-anaknya dibesarkan oleh pembantunya.
 - Fumaano finimoghane. Jika perempuan memiliki saudara laki-laki maka ada sejumlah adat yang harus dikeluarkan oleh keluarga calon mempelai laki-laki untuk saudara laki-laki calon mempelai wanita.
 - Katandugho artinya pembayaran mahar adat yang besarnya sesuai dengan golongan sebagaimana telah diuraian di atas sebelumnya. Namun karena tidak dianggap kawin lari maka nilainya adalah 1 bhoka sebesar Rp 24.000,-.
 - Ihino kawi.
 - Kasolo (akan dijelaskan di bawah)
 - Kawi atau Ijab-Kabul. Jika proses di atas telah selesai maka selanjutnya adalah proses pernikahan atau ijab-kabul sesuai ketentuan Agama dan hukum perkawinan yang berlaku.
 - Kafosulino katulu (akan dijelaskan di bawah)
 
Pofileigho artinya saling melarikan dalam artinya bahwa antara laki-laki dan perempuan lari ke rumah imam untuk dinikahkan namun orang tua perempuan tidak tahu kapan anaknya itu meninggalkan rumah hanya saja sebelumnya sudah diketahui bahwa anaknya memiliki tunangan. Seorang perempuan dikatakan memiliki tunangan apabila seorang laki-laki telah memberikan kafeena. Pofileigho kadang dinamakan karorondo tewo lambu karorondo we wite (gelap di atas rumah, gelap pula di luar rumah) 
Ketentuan Pada Kawin Lari (Pofileigho)
Kawin lari dapat terjadi biasanya jika seorang laki-laki tidak memiliki kemampuan finansial jika menikah sesuai proses adat, tidak mendapat restu dari orang tua perempuan atau untuk menghemat proses pernikahan karena jika mengikuti sistem Kantalea tewo lambu kantalea we wite ada beberapa tahap yang harus dilewati dan bahkan melibatkan orang banyak bahkan pada zaman dahulu melibatkan Raja Muna dan pejabat kerajaan lainnya. Namun dalam kawin lari bukan berarti seenaknya melarikan perempuan akan tetapi ada proses yang harus dijalani, yakni:
- Kafeena, dimana laki-laki memberikan sejumlah uang atau barang kepada perempuan baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung maksudnya laki-laki memberikannya sendiri, jika laki-laki malu memberikannya sendiri maka dapat mengutus/meminta bantuan pihak lain yang lebih akrab dengan perempuan/keluarga perempuan. Jika kafeena diterima berarti perempuan tersebut adalah bebas dalam arti tidak bersuami atau tidak memiliki tunangan.
 - Pofileigho, artinya saling melarikan maksudnya laki-laki dan keluarganya membawa perempuan ke rumah Imam/tokoh agama/tokoh adat namun harus memberi tanda kepada orang tua perempuan bahwa anaknya telah meninggalkan rumah da dibawa ke rumah Imam/tokoh agama/adat. Tanda ini adalah sejumlah uang yang disimpan di bawah tempat tidur/bantal dan nilainya sesuai golongan laki-laki dan orang tua perempuan akan dapat menebak dari golongan mana anaknya akan menikah. Tanda wajib dipenuhi oleh laki-laki jika tidak dipenuhi maka laki-laki dapat dituntut sesuai hukum yang berlaku dan dapat dianggap telah menculik sang perempuan. Proses pofileigho juga harus sudah melewati proses kafeena.
 - Fosowo wamba. Fosowo berasal dari kata dasar sowo artinya mundur, jadi fosowo artinya proses memundurkan, sedangkan wamba dapat berarti bahasa atau berita. Namun sebenarnya fosowo wamba adalah proses menyampaikan berita. Orang yang menyampaikan berita ini disebut me fosowono wamba. Me fosowono wamba terdiri dari dua orang laki-laki dari keluarga laki-laki atau tokoh masyarakat. Pada saat fosowo wamba kadang-kadang ada permintaan khusus orang tua perempuan kepada pihak laki-laki.
 - Katandugho, artinya proses menaikkan mahar adat sesuai golongan namun nilainya adalah 1 bhoka sebesar Rp 48.000.
 - Kasolo, artinya pengecakkan dimana orang tua dan keluarga perempuan akan datang mengunjungi anaknya.
 - Kawiha, artinya proses pernikahan atau ijab-kabul. Sebelum hari proses Ijab-Kabul kedua mempelai selalu diawasi dan tidak dibiarkan bersama.
 - Kafosulino katulu, artinya pengembalian jejak maksudnya adalah kedua mempelai kembali dahulu ke rumah orang tua perempuan. Tujuannya adalah agar laki-laki yang telah menjadi menantu dikenal oleh seluruh kampung/keluarga.
 
Perlu dicatat juga bahwa kadang-kadang nilai rupiah tidak menjadi masalah dalam pembayaran mahar adat. Misalnya suku lain menikahi perempuan Muna golongan Kaomu dengan sistem pofileigho (kawin lari), maharnya adalah 110 bhoka, jadi kalau dikalikan Rp 48.000 nilainya Rp 5.280.000,- Namun kadang-kadang hanya penyebutannya 110 bhoka walaupun nilainya tidak sampai disitu dan keturunannya tetap golongan kaomu karena orang tidak dianggap dari berapa hartanya tetapi ketulusan dan kesungguhannya dalam berumah tangga harus dihargai. Kejadian seperti ini pernah terjadi pada masa pemerintahan Raja Muna XX yang bernama La Ode Sumaili yang menentang pernikahan Daeng Marewa asal Kerajaan Bone dengan Wa Ode Kadingke (sepupu 1 kali Raja La Ode Sumaili). Raja meminta mahar adat yang tidak disanggupi oleh Daeng Marewa sedangkan menurut Wa Ode Kadingke bahwa seseorang itu cukup dinilai dari segi ketakwaannya bukan dari hartanya. Pernyataan Wa Ode Kadingke ini mendapat dukungan dari Sarano Wuna sehingga saat itu Raja dihukum cambuk oleh Sarano Wuna sampai mati. Pernikahan Wa Ode Kadingke dengan Daeng Marewa ini dikarunia putra yang diberi nama La Ode Saete dan sekaligus pengganti La Ode Sumaili menjadi Raja Muna XXI.

No comments:
Post a Comment